Retorika yang dibom oleh banyak elit politik nasional Indonesia tentang penundaan pemilihan presiden adalah kesalahan demokrasi yang sangat besar. Selain itu, juga dikatakan bahwa Luhut Binsar BangaitanMenteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Andy Widjajanto, ketua baru Lembaga Pertahanan Nasional, terlibat dalam pengembangan wacana tersebut. Sangat jelas bahwa upaya sistematis untuk memperpanjang masa jabatan presiden atau menunda pemilihan presiden 2024 sedang berjalan dengan baik. Lebih buruk lagi, kembali ke beberapa jurnal irama terkait masalah ini, ide awal datang dari pejabat negara dan tokoh-tokoh yang tidak dipilih oleh orang-orang yang mencoba menggunakan kekuasaannya di kantor untuk membujuk dan bahkan menekan elit partai untuk menghirup bahaya. Surat penundaan pemilihan presiden.
Alhasil, nama-nama sekaliber Chuck Emin atau O menjadi terkenal Muhaimin Iskandar (Kepala Partai Kebangkitan Bangsa PKB), Zulkifli Hassan (Ketua Partai Amanat Nasional), the Erlanga Hartarto (Ketua Golkar), tiba-tiba menjelma menjadi tokoh politik kelas kecil yang tanpa malu-malu rela mengorbankan proses pelembagaan demokrasi di Indonesia atas nama pemulihan ekonomi atau Covid 19. Ketiga tokoh tersebut merupakan ketua umum dari tiga parpol besar yang seharusnya menjadi landasan politik sekaligus benteng kelembagaan bagi bangsa Indonesia agar Indonesia senantiasa dapat memajukan demokrasi nasional. Dengan latar belakang ini, retorika yang mereka hembuskan menjadi sangat berbahaya karena kemungkinan besar akan menjadi ambisi politik parlemen dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Jika ketiga partai tersebut berhasil menyepakati retorika perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilihan presiden ke DPR, ditambah dengan dukungan partai koalisi lain yang cenderung hanya mempengaruhi istana, retorika tersebut akan berubah menjadi politik. . Dalam waktu dekat, konstitusi mungkin akan diamandemen atau Istana Presiden (Perintah Eksekutif Khusus) dapat mengeluarkan Birpo (Perintah Eksekutif Khusus) untuk menunda pemilihan presiden yang akan didukung oleh partai-partai Senayan (Parlemen) dalam majelis. Jika ini terjadi, berdasarkan pengalaman selama pemerintahan Jokowi, tidak ada kekuatan yang bisa menghentikannya, termasuk otoritas masyarakat sipil nasional yang telah lama ditangguhkan.
Memang, pembicaraan tentang penambahan masa jabatan presiden atau penundaan pemilihan presiden adalah retorika yang akan menentukan apakah Indonesia masih dapat menahan ambisi untuk mengakar demokrasi atau apakah itu sekali lagi terjebak dalam jurang tidak demokratis dari rezim baru. Jika para elit ini berhasil membuat salah satu kebijakan wacana (kelembagaan), peluang mereka untuk memodifikasi proses pelembagaan demokrasi nasional akan semakin besar ke depan. Dengan kata lain, jika masa jabatan presiden berhasil diubah menjadi tiga kali, Anda juga dapat berhasil mengubahnya menjadi empat atau lima kali.
Itulah mengapa waktu ini sangat penting bagi masa depan demokrasi Indonesia. Artinya, jika Luhut atau Andy Widjadjanto dapat menyiapkan langkah sistematis untuk menunda pemilihan presiden atau memperpanjang masa jabatan presiden dengan dukungan elit partisan, tokoh Demokrat yang tidak begitu populer ini memiliki kekuatan untuk menundukkan kekuatan demokrasi, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Jika itu terjadi, detik-detik di mana demokrasi nasional mengambil nafas hanyalah soal waktu.
Elit pro-demokrasi bersama dengan masyarakat sipil harus menunjukkan perlawanan besar-besaran dan menetapkan garis yang jelas antara kekuatan prostat saat ini dan kekuatan reformis demokrasi. Karena seperti diketahui, elit non-partisan seperti Luhut dan Andy Widjadjanto serta elit politik partisan seperti Chuck Emin, Erlanga Hartarto dan Zulkiveli Hasan, tidak semuanya sosok yang memiliki rekam jejak perjuangan demokrasi. Oleh karena itu, sangat dapat dimengerti mengapa sebagian dari mereka mengangkat retorika penundaan pemilihan presiden atau perpanjangan masa jabatan presiden, dan sebagian dari mereka menyepakatinya di ranah publik.
Selain elite seperti Luhut dan Andy yang belum pernah terlihat latar belakang demokrasinya, ketiga parpol yang diwakili oleh tiga tokoh di atas tidak layak disebut sebagai partai reformis saat ini. Partai Golkar adalah warisan rezim baru yang telah berusaha keras memoles dirinya agar kompatibel dengan era pasca-Orde Baru. Ada bau yang kuat dari keserakahan kekuasaan di partai ini, dengan justifikasi politik yang berbeda, tentu saja. Justifikasi seperti “hanya bisa dilakukan untuk rakyat melalui jalur kekuasaan” adalah salah satu formula dan masih bergema di setiap pemilu demokratis yang telah berakhir. Alhasil, sama sekali tidak ada mimpi menjadi lawan di party ini.
Begitu juga dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) versi Cak Imin. Sejarah mencatat bahwa Cak Imin memperoleh PKB dari Gus Dur melalui perjuangan terbuka antara kekuatan yang ingin berkuasa di era SBY dan pasukan Gurdurian yang masih sangat reformis. Beruntung bagi Mehimin Iskandar, berkat dukungan tidak langsung dari Istana Kepresidenan (SBY), kekuatan pendukung Gus Dor melemah dan Cak Imin masih berkuasa hingga saat ini di pucuk pimpinan kekuasaan PKK. Dengan kata lain, di tangan Cak Imin, PKB versi Gus Dur telah berubah menjadi PKB versi Golkar yang selalu mendambakan untuk tetap berada di perahu kekuasaan, siapa pun penguasanya.
Berbeda dengan PKK, setelah peran Amin di Partai Amanat Nasional (PAN) hilang sama sekali, kepemimpinan Hatta Rajasa dan Zulkifli Hasan merupakan periode politik pragmatis bagi partai ini. PAN telah bertransformasi dari partai gerakan reformasi menjadi partai yang selalu mencari peluang untuk merebut kekuasaan di istana presiden. Saat ini, meskipun kursi tidak secara resmi dialokasikan dalam pemerintahan Jokowi II, kursi tersebut dilihat oleh publik sebagai sekrup kekuasaan untuk istana kepresidenan. PAN, seperti Golkar dan PKB, tidak mengkritik tindakan pemerintah yang memanipulasi KPK (Panitia Pemberantasan Korupsi) atau pengesahan undang-undang tersebut. Alhasil, tak heran jika Zulkifli Hassan belakangan menjadi salah satu ketua umum partai yang sependapat dengan vokal Chuck Amin soal penundaan pemilihan presiden.
Pengamatan penting yang perlu saya tekankan melalui perkembangan wacana ini adalah bahwa kekuatan-kekuatan non-reformis dan tidak demokratis perlahan-lahan mulai berani berbicara di ruang publik nasional, tanpa malu-malu. Bagian kekuasaan ini sebenarnya tidak mementingkan keberadaan demokrasi Indonesia dan masa depan demokrasi nasional, alias lebih mementingkan kepentingan dan pengutamaan kekuasaan atau keuntungan ekonomi politik di belakangnya. Pilihan untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan menunda pemilihan presiden diumumkan, dan diklaim sebagai aspirasi rakyat dan dibenarkan oleh berbagai hasil jajak pendapat.
Beberapa elite ini berpendapat bahwa mengemukakan retorika penundaan pemilihan presiden atau perpanjangan masa jabatan presiden adalah bagian dari ekspresi kebebasan berpendapat dalam demokrasi. Namun, apakah wacana yang berpotensi melemahkan, bahkan menghancurkan, demokrasi dibiarkan berkeliaran di ruang publik? Saya kira jawabannya adalah tidak. Lalu bagaimana dengan reaksi Jokowi? Jokowi Dia menanggapi perkembangan wacana ini dengan sikap ambigu. Dia menolak pidato penundaan pemilihan presiden pada 2-24 dan mengatakan dia hanya mematuhi konstitusi. Namun Jokowi tidak merinci posisinya jika ternyata konstitusi diubah oleh elit di DPR dan memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Dengan reaksi ini, Joko Widodo sebenarnya bisa menjadi masalah tambahan bagi masa depan demokrasi di Indonesia
Terkait
“Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert.”