Beberapa minggu yang lalu, pemerintah Indonesia mengubah undang-undang penciptaan lapangan kerja yang kontroversial — yang disebut omnibus law — menjadi “peraturan pemerintah bukan undang-undang” karena dianggap darurat untuk mengeluarkan peraturan tersebut.
Itu adalah manuver mendadak untuk menentang putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia bahwa undang-undang itu inkonstitusional pada tahun 2021. Putusan tahun 2021 memberi pemerintah waktu dua tahun untuk mengubah undang-undang kontroversial tersebut. Dengan menjadikannya undang-undang darurat, pemerintah Indonesia menghindari kemungkinan undang-undang tersebut dicabut seluruhnya.
Omnibus law yang disahkan pada akhir 2020 menuai kritik karena mengabaikan hak buruh. Beberapa protes dari pekerja, aktivis dan organisasi masyarakat sipil mewarnai lanskap ketenagakerjaan Indonesia setelah undang-undang tersebut diundangkan. Situasi ini akan berlanjut pada tahun pemilu 2023 dan 2024.
Aturan bermasalah
Omnibus law mewujudkan ambisi Presiden Joko Widodo untuk menarik investor asing dengan memotong birokrasi dengan mengorbankan hak-hak pekerja.
Undang-undang memudahkan bisnis untuk memecat karyawan tanpa pemberitahuan. Tidak ada keamanan kerja yang diatur. Uang pesangon dikurangi dan kontrak sementara untuk pekerja diperpanjang. Formula barunya untuk menetapkan upah minimum juga mendapat kecaman, yang mengarah ke kenaikan upah tahunan terendah dalam sejarah pada tahun 2022.
Peraturan darurat “baru”—yang seharusnya dicabut sekarang dan bukan omnibus law—bisa dibilang lebih rumit lagi.
Pertama, sebagian besar ketentuannya merupakan duplikasi dari Omnibus Act. Banyak ketentuan bermasalah dari UU Omnibus sebelumnya masih terkandung dalam peraturan baru ini.
Kedua, banyak perubahan dan ketentuan tambahan dalam peraturan baru yang membingungkan dan tumpang tindih dengan peraturan pemerintah sebelumnya, yang diturunkan dari Omnibus Act.
Misalnya, ketentuan outsourcing yang dihapus di Omnibus Act kini muncul kembali di UU Darurat. Peraturan ini kembali mengubah sistem upah minimum, membuat marah baik pekerja maupun pengusaha karena ketidakkonsistenannya.
Peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang ini menyisakan banyak poin yang tidak dapat dijelaskan yang dapat digunakan lebih lanjut di masa depan dan sulit dipahami bahkan oleh para ahli hukum sekalipun.
Bagaimana pekerja menolak perubahan
Karena kontennya yang kompleks dan pengesahan Omnibus Act yang tiba-tiba pada tahun 2020 tanpa konsultasi yang tepat dengan pekerja, hal itu menuai kritik keras dari serikat pekerja dan pekerja.
Namun, karena aksi industrial di Indonesia selalu diatur secara ketat, melancarkan aksi mogok tidak mungkin dilakukan. Pemogokan tidak terlalu populer sebagai aksi industrial di Indonesia, karena hanya dapat diselenggarakan dengan izin perusahaan. Perusahaan juga memiliki hak untuk mengurangi tenaga kerjanya jika para pekerja memilih untuk melakukan pemogokan informal.
Situasi ini memaksa para pekerja untuk hanya melakukan protes. Namun, pandemi membuat tidak mungkin untuk memobilisasi protes di bawah pembatasan pergerakan dan pengumpulan yang ketat.
Tetapi para pekerja tidak pernah duduk diam dalam beberapa tahun terakhir. Sebaliknya, mereka merevolusi cara protes dilakukan dan dialihkan ke media sosial. Meskipun tidak cukup membuat pemerintah mengubah undang-undang, beberapa tweet viral membantu banyak bisnis mengubah praktik mereka setelah melecehkan karyawan mereka.
Buruh di ibu kota Jakarta memprotes kenaikan BBM dan penurunan upah minimum serta menyerukan pencabutan omnibus law, September 2022. antara foto/aditya Pradana putra/nz
Pada paruh kedua tahun 2022, ribuan buruh menggelar aksi unjuk rasa di kota masing-masing. Protes semakin intensif pada bulan September ketika pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga BBM memicu inflasi yang sudah tinggi karena kenaikan harga pangan.
Salah satu tuntutan buruh adalah agar pemerintah tidak menggunakan aturan upah minimum yang disebutkan dalam UU Cipta Kerja. Tuntutan itu justru menguat karena pemerintah memutuskan mengeluarkan peraturan tersendiri untuk menetapkan upah minimum pada 2023.
Tuntutan lain dari kaum buruh tentu saja mendesak pemerintah mencabut Omnibus Act. Ini jelas gagal dengan memberlakukan undang-undang darurat untuk mendukung investor.
Pada tahun 2023, sangat penting untuk melihat bagaimana pekerja bereaksi terhadap regulasi, terutama di tengah PHK besar-besaran akibat resesi global.
“Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert.”