(Bloomberg) — Indonesia sedang menjajaki dua lokasi untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir pertamanya sebagai bagian dari transisi bangsa dari batu bara.
Yang pertama di Kalimantan Barat, dekat lokasi ibu kota baru, Nusantara, karena risiko gempa rendah, dukungan pemerintah daerah, dan kebutuhan listrik, kata Dadan Gustiana di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pilihan kedua adalah Kepulauan Bangka-Belitung karena alasan serupa.
“Nuklir akan menjadi sumber baseload power sekelas panas bumi dan tenaga air,” kata Dirjen Energi Baru Terbarukan dalam wawancara di Jakarta. “Sumber perantara mungkin tumbuh lebih dulu, tetapi kekuatan beban dasar yang bersih ini akan menyusul.”
Bentuk terbersih dari energi terbarukan seringkali terputus-putus, seperti matahari dan angin, sementara pembangkit listrik tenaga panas bumi, pembangkit listrik tenaga air, dan nuklir membawa risiko lingkungan yang tinggi meskipun menyediakan energi yang konstan sepanjang hari dan tahun.
Produk panjang
Tenaga nuklir sedang bangkit kembali di Asia berkat tingginya harga gas alam dan batu bara, yang menghasilkan sebagian besar tenaga di kawasan itu. Jepang dan Korea Selatan mencabut kebijakan anti-nuklir, sementara China dan India ingin membangun lebih banyak reaktor. Para pembuat kebijakan Indonesia mendorong RUU energi bersih yang akan membuka jalan bagi pembangkit listrik tenaga nuklir pertamanya pada tahun 2045.
Perusahaan AS NuScale Power LLC dan Fluor Corp serta JGC Foundation Jepang akan membantu Indonesia membangun reaktor 462 MW di Kalimantan Barat. Sebuah divisi ThorCon yang berbasis di AS telah mengirimkan surat konsultasi kepada otoritas lokal sebagai bagian dari proses perizinan reaktor nuklir, sementara Rosatom State Corp Rusia telah menawarkan untuk membangun pabrik terapung.
Reaktor nuklir skala komersial pertama baru akan mulai beroperasi pada 2039, kata Gustiana. “Selain produknya yang panjang, permintaannya juga pasti besar,” ujarnya.
©2023 Bloomberg LP