TEMPO.CO, Jakarta – Harga rendah yang ditawarkan Starlink, penyedia layanan internet satelit, belum tentu merupakan praktik predatory pricing, kata Eugenia Mardanograha, anggota Komisi Pengawas Persaingan Komersial Indonesia (KPPU).
Karena yang dimaksud dengan predator pricing bukan sekedar harga murah, kata Eugenia di Jakarta, Rabu, 31 Mei.
Hilman Bojana, anggota KPPU lainnya, menambahkan, ada syarat lain yang harus dipenuhi agar bisa tergolong predatory pricing, bukan sekadar harga jual rendah.
Eni Minara Roki, akademisi Universitas Indonesia, menjelaskan predatory pricing adalah strategi untuk mengeliminasi pesaing dengan menetapkan harga di bawah biaya dalam upaya untuk mendapatkan posisi monopoli dan kemudian menaikkan harga untuk mengkompensasi kerugian.
Namun, Ien mengatakan praktik tersebut sangat sulit diterapkan, apalagi di industri digital yang berbasis inovasi dan disrupsi. Ia menambahkan, persaingan melalui inovasi adalah hal yang sah dalam bisnis.
“Tapi setelah itu, dia harus bisa mengganti kerugian yang dialaminya selama penjarahan dengan menetapkan harga monopoli yang sangat tinggi bagi konsumen,” tambahnya.
Eni menegaskan, diskon 40 persen yang diberikan Starlink hingga 10 Juni 2024 bukanlah praktik predatory pricing melainkan harga promosi. Dia menjelaskan bahwa penetapan harga predator melibatkan penetapan harga di bawah biaya untuk jangka waktu yang tidak terbatas hingga pesaing tersingkir, yang menurutnya tidak mungkin dilakukan oleh Starlink.
“Starlink menetapkan harga diskon dengan batas waktu hingga 10 Juni, kalau tidak salah ini bukan predatory pricing,” kata Eni.
Di Indonesia, larangan penetapan harga yang tidak adil diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha yang Sehat. Praktek ini dapat mengakibatkan denda atau pembubaran perusahaan.
Michelle Gabriella
Pilihan Editor: Pemerintah menjamin keamanan data Starlink Elon Musk
klik disini Untuk mendapatkan update berita terkini dari Tempo di Google News