Harga yang mahal telah menyebabkan para kritikus mempertanyakan keefektifannya dan membuat sebagian besar perusahaan enggan mengadopsi teknologi tersebut.
Misalnya, sektor energi Indonesia memperkirakan 600 juta ton emisi CO2 pada tahun 2021, yang berarti pembangkit listrik di negara ini harus mengeluarkan miliaran dolar setiap tahunnya untuk menghemat karbon yang mereka keluarkan.
Dr Belladonna mengatakan Indonesia berencana membangun pusat CCS di mana berbagai industri dapat berbagi fasilitas pengambilan sumber daya yang sama.
“Keekonomiannya akan lebih murah karena banyak perusahaan berbagi infrastruktur, fasilitas, biaya dan tanggung jawab yang sama,” ujarnya.
Ia mengatakan, dua lokasi potensial untuk pusat CCS pertama di Indonesia saat ini berada di Pulau Jawa dan Kalimantan. Studi kelayakan kedua lokasi tersebut masih terus dilakukan.
Solusi yang Mungkin atau Red Herring?
Mengadopsi teknologi CCS untuk mengurangi emisi karbon adalah sebuah tantangan karena secara paradoks teknologi tersebut membantu perusahaan minyak meningkatkan produksi bahan bakar fosil, kata para analis.
“Industri bahan bakar fosil mencoba mengulur lebih banyak waktu dengan bantuan teknologi CCS dan melanjutkan produksi minyak dan gas,” kata Leonard Simanjuntak, direktur Greenpeace Environment Group di Indonesia.
Ambisi Indonesia untuk menjadi pusat CCS regional muncul di tengah menurunnya produksi minyak. Produksi tahunan negara ini kini mencapai sepertiga dibandingkan tiga dekade lalu, dan menjadi negara pengimpor pada awal tahun 2000an..
Menurut Kementerian Energi Indonesia, negara ini Produksi minyak naik menjadi 2,96 juta barel per hari Pada tahun 1994. Produksi terus menurun. Tahun lalu, produksi minyak Indonesia sebesar 1,01 juta barel per hari.
“Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert.”