Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan pandemi COVID-19 telah membawa perubahan signifikan dalam cara bisnis melakukan kegiatan ekonomi dan keuangan; Aktivitas fisik kini semakin terbatas dan perusahaan mengalihkan transaksi ekonominya ke platform digital.
Perilaku ekonomi baru ini juga mengubah industri perbankan, khususnya terkait peralihan dari bank tradisional ke digital.
Untuk memfasilitasi digitalisasi perbankan dan memfasilitasi investasi dalam layanan perbankan digital, Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (Autoritas Jasa KiwanganOJK) Konsep bank digital melalui Peraturan OJK No. 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum (OJKR 12/2021).
Dengan OJKR 12/2021, perusahaan kini dapat membangun bank baru dengan model bisnis perbankan digital (atau mengubah bank tradisional yang ada menjadi bank digital).
Perusahaan harus memenuhi beberapa persyaratan regulasi untuk melakukannya, antara lain (1) memiliki satu kantor pusat fisik, (2) memiliki model bisnis dengan teknologi yang inovatif dan aman, (3) memiliki kemampuan untuk menjalankan model bisnis perbankan digital yang prudent dan berkelanjutan, (4) memiliki manajemen risiko yang memadai, dan (v) menerapkan perlindungan data pribadi.
Setoran modal minimum adalah Rp 3 triliun (US$ 203 juta) saat mengajukan izin dasar, lebih rendah dari setoran modal minimum Rp 4 triliun untuk bank konvensional.
Strategi OJK tampaknya efektif dengan meningkatnya jumlah investor asing dan domestik yang mengakuisisi saham di bank-bank kecil Indonesia dan mengubahnya menjadi bank digital, termasuk akuisisi saham minoritas di PT Bank Jasa Jakarta oleh WeLab Ltd. , dan akuisisi PT Bank Fama Internasional oleh PT Elang Media Visitama (anak perusahaan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk). OJK berharap lebih banyak pelaku komersial akan mendapat manfaat dari pasar perbankan digital Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.
Pada triwulan IV tahun 2021, OJK merilis cetak biru transformasi perbankan digital (blueprint) yang memuat prinsip-prinsip dasar dalam pembuatan kebijakan digitalisasi untuk menciptakan ekosistem transformasi perbankan Indonesia yang tertib dan aman. Skema ini berfokus pada lima bidang: tata kelola data, teknologi, manajemen risiko, kolaborasi, dan pengaturan kelembagaan.
Dengan fokus utama di bidang-bidang tersebut, kebijakan akselerasi perbankan digital diharapkan dapat mendorong perbankan untuk menciptakan layanan perbankan yang efisien, aman dan inovatif yang memenuhi kebutuhan dan harapan nasabah.
Salah satu tantangan terbesar yang diramalkan oleh skema ini adalah perlindungan data pelanggan karena kurangnya regulasi yang komprehensif. Tantangan lain adalah aktivitas outsourcing, karena tampaknya beberapa bank mengalihdayakan pekerjaan TI kepada ahli dari luar. Hal ini dapat menimbulkan risiko strategis, operasional, dan reputasi.
Tantangan-tantangan ini membutuhkan pengawasan ketat dan berkelanjutan oleh OJK. Penting bagi OJK untuk memahami tingkat kematangan digital perbankan Indonesia sebagai dasar untuk membuat pedoman dan kebijakan yang paling efektif dalam rangka percepatan transformasi digital perbankan.
Untuk menilai tingkat kematangan digital industri perbankan Indonesia, skema tersebut memperkenalkan Digital Maturity Assessment of Banks (DMAB), yang akan digunakan oleh OJK sebagai alat untuk memantau transformasi digital oleh bank. Namun, hal ini masih menunggu hingga peraturan eksekutif OJK lebih lanjut diterbitkan.
“Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert.”