KabarTotabuan.com

Memperbarui berita utama dari sumber Indonesia dan global

Fintech bisa menjadi sumber eksklusi keuangan baru – akademisi
entertainment

Fintech bisa menjadi sumber eksklusi keuangan baru – akademisi

Ariza Ayu Ramadhanhani (Jakarta Post)

Jakarta
Selasa 23 November 2021

2021-11-23
12:40
4
91cfb1df8cd902f24ad8640a94104c16
4
akademisi
fintech, internet, literasi, pinjaman, pinjol, OJK, bank indonesia, usaha mikro, kecil dan menengah, digitalisasi, perlindungan konsumen
Gratis

Digitalisasi telah menantang bisnis tradisional di banyak industri, terutama di industri telekomunikasi, hiburan, media, dan keuangan. Sama halnya dengan industri-industri tersebut, digitalisasi di sektor keuangan diklaim dapat mendemokrasikan layanan keuangan karena mengurangi ketimpangan yang memiliki akses terhadap produk atau layanan keuangan.

Namun, pernyataan ini belum tentu benar. Orang-orang dari kelompok berpenghasilan rendah mungkin menghadapi lebih banyak hambatan, menghalangi akses mereka ke layanan keuangan digital. Oleh karena itu, digitalisasi dapat menjadi sumber eksklusi keuangan baru. Salah satu kendalanya adalah rendahnya literasi digital dan keuangan, terutama di kalangan kelompok rentan, termasuk perempuan, usaha mikro dan kecil (UMKM), pekerja migran dan mereka yang tinggal di pedesaan.

Pengguna internet di Indonesia meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, 43,5 persen dari 270 juta orang di Indonesia telah mengakses internet pada 2019. Apalagi di masa pandemi, aktivitas digital semakin meluas dan berlipat ganda dengan banyak orang beralih ke aktivitas online. . Sebagai contoh, konsumen e-commerce baru di Indonesia meningkat sebanyak 37 persen selama pandemi pada tahun 2020.

Namun, pada tahun 2021 Economist Intelligence Unit menemukan bahwa dari 120 negara, Indonesia hanya menempati peringkat ke-66 dalam indeks internet komprehensifnya. Dalam tolok ukur, Indonesia berada di peringkat setengah teratas dalam hal ketersediaan dan kesesuaian internet, tetapi berada di peringkat terbawah negara-negara dalam hal keterjangkauan dan kesiapan, dengan kekurangan yang teridentifikasi dalam tingkat melek huruf dan kondisi persaingan. Data tersebut menunjukkan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan literasi digital untuk mengimbangi kebutuhan dan penggunaan pengguna Internet.

READ  "The Big 4" Indonesia adalah film non-Inggris terbesar kedua di Netflix

Rendahnya tingkat literasi keuangan di Indonesia juga ditemukan dalam survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2019. Tinjauan tersebut menunjukkan bahwa hanya 38 persen responden yang melek finansial. Survei OECD lainnya melaporkan bahwa responden Indonesia memiliki pandangan positif terhadap produk dan layanan keuangan tetapi pengetahuannya relatif sedikit bahkan tentang dasar-dasar keuangan.

Rendahnya tingkat literasi keuangan mungkin menjadi penyebab meningkatnya jumlah pengaduan jasa keuangan ke OJK selama pandemi. Pada saat yang tidak menguntungkan, OJK rata-rata mengajukan 345.000 pengaduan per bulan. Jumlahnya naik dari 2.000 menjadi 3.000 kasus per bulan tepat sebelum pandemi. Demikian pula, YLKI melaporkan peningkatan pengaduan konsumen, khususnya di bidang jasa keuangan dan e-commerce, pada tahun 2020.

Data OJK dan Bank Indonesia juga menunjukkan bahwa pengaduan terbanyak adalah tentang debt collector dari Bingol (pinjaman online) dan kartu kredit bank. Orang-orang tidak hanya mengeluh tentang sikap kasar para penagih utang, tetapi mereka juga menentang masalah perlindungan data. Sekali lagi, ada kekhawatiran tentang pengetahuan keuangan dasar masyarakat untuk memahami risiko dan manfaat produk keuangan. Situasi ini juga mengungkapkan peran ilegal yang tidak menguntungkan Bingol Dalam membidik orang yang buta huruf secara finansial sebagai konsumen potensial tanpa melakukan upaya yang cukup untuk mendidik mereka.

Faktanya, pengguna internet di Indonesia akan meningkat di tahun-tahun mendatang seiring dengan perkembangan negara, namun aset digital belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk transaksi keuangan digital. Survei Keuangan Inklusif 2020 terbaru yang dilakukan oleh Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) menunjukkan bahwa hanya 21,6 responden yang memiliki kemampuan sedang atau optimal untuk melakukan transaksi keuangan melalui smartphone. Selebihnya, sekitar 78,4 persen responden mengaku kurang atau tidak memiliki kemampuan untuk melakukan transaksi keuangan digital.

READ  Film Indonesia "The Big 4" adalah film non-Inggris kedua yang paling banyak ditonton di Netflix

Layanan keuangan digital mungkin muncul sebagai peluang atau bahkan solusi dalam hidup kita. Namun, mereka juga datang dengan tantangan yang dapat berubah menjadi kerugian, terutama bagi kelompok rentan yang paling terpukul oleh pandemi. Oleh karena itu, upaya bersama antara pemerintah, industri dan masyarakat sangat penting untuk menjawab tantangan tersebut.

Untuk alasan ini, pendidikan selalu menjadi kunci. Peningkatan literasi keuangan diperlukan di banyak tingkatan, tidak hanya dalam pendidikan berbasis buku teks tetapi juga dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam menghabiskan waktu untuk keputusan keuangan. Inisiatif yang jelas dan disesuaikan harus diambil untuk yang paling rentan. Pemerintah juga harus memainkan peran penting dalam menyediakan infrastruktur digital dan memastikan literasi digital bagi semua orang.

Perusahaan keuangan harus memainkan peran utama dalam literasi digital dan keuangan karena mereka harus bertanggung jawab atas layanan mereka. Selain itu, masyarakat seperti LSM, universitas, sekolah, dan kelompok pemuda memiliki peran penting dalam mempromosikan literasi keuangan dan digital karena mereka dapat fokus pada audiens yang lebih spesifik.

Terakhir, pemerintah berperan penting sebagai penyeimbang dalam mengatur industri keuangan. Perlindungan konsumen, termasuk perlindungan data pribadi dan pencegahan kejahatan dunia maya, sangat penting dan dapat dicapai melalui pendekatan pengawasan dan peraturan yang inovatif seperti teknologi pengawasan (SupTech) dan teknologi pengaturan (RegTech).

***

Penulis adalah peneliti di Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Pendapat yang diungkapkan adalah milik mereka sendiri.


LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

"Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert."