Hambatan bahasa: Mahkamah Agung memperjelas persyaratan bahasa dalam kontrak di Indonesia | Hogan Lovells
Pada tanggal 29 Desember 2023, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2023, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan yang biasa disebut bahasa. Hukum. Undang-undang ini memainkan peran penting dalam menentukan persyaratan bahasa untuk kontrak yang melibatkan perusahaan Indonesia dan perusahaan asing.
Pasal 31 mengamanatkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam kontrak yang melibatkan instansi pemerintah Indonesia, instansi pemerintah, perusahaan swasta, atau warga negara. Ditetapkan pula bahwa kontrak yang melibatkan pihak asing harus ditulis dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Pengaturan ini bertujuan untuk menjamin kejelasan dan pemahaman antara pihak-pihak yang berbeda latar belakang bahasa.
Namun penafsiran Pasal 31 berbeda sehingga menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan. Dalam kasus ini Dalam PT Bangun Kariya Pratama Lestari v Nine AM Limited, Pengadilan Tinggi Jakarta Barat memutuskan perjanjian pinjam meminjam yang dibuat hanya dalam bahasa asing tidak sah. Keputusan ini dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada Agustus 2015. Namun keputusan-keputusan lain baru-baru ini menunjukkan beberapa inkonsistensi, dan beberapa hakim berkomentar bahwa tidak adanya versi bahasa Indonesia membuat perjanjian tersebut tidak sah.
Surat edaran ini berupaya untuk mengatasi ketidakkonsistenan ini dan memberikan kejelasan dalam penafsiran hukum. Dalam surat edaran tersebut, perusahaan swasta dan perseorangan Indonesia yang mengadakan kontrak dengan pihak asing dengan terjemahan bahasa Indonesia tidak serta merta mengakibatkan pembatalan kontrak dengan terjemahan bahasa Indonesia. Namun, pembatalan dapat dilakukan apabila terbukti adanya itikad buruk dari salah satu pihak.
Perlu dicatat bahwa pedoman surat edaran ini memiliki keterbatasan. Hal ini menekankan perlunya terjemahan bahasa Indonesia, dan menyarankan bahwa kontrak hanya dapat dilakukan dalam bahasa asing atau bahasa Inggris. Selain itu, surat edaran tersebut tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan itikad buruk, sehingga menyerahkan keputusan pada kebijaksanaan hakim berdasarkan kasus per kasus.
Risiko Kepatuhan dan Hukum
Meskipun surat edaran Mahkamah Agung bertujuan untuk menyederhanakan keputusan peradilan dan mendorong konsistensi, implikasinya dan interaksinya dengan hukum bahasa masih menjadi perdebatan.
Ke depan, para pihak harus menavigasi nuansa hukum ini dengan hati-hati untuk meminimalkan kepatuhan dan potensi tantangan hukum dalam transaksi bisnis mereka di Indonesia. Pihak asing yang berhubungan dengan perusahaan Indonesia harus selalu menyiapkan kontrak versi bahasa Indonesia dan memilih kontrak bilingual untuk memastikan kepatuhan dan mengurangi risiko hukum.