TEMPO.CODan Jakarta – Transisi penyiaran televisi dari analog ke digital mengabaikan prinsip demokratisasi penyiaran. Kontrol multiplexing akan tetap di tangan konglomerat lama.
Keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait multiselevisi digital telah mengakibatkan kita kehilangan peluang penting dalam proses digitalisasi televisi siaran: demokratisasi penyiaran. Digitalisasi penyiaran di Indonesia pasti akan gagal untuk mengalihkan kendali frekuensi publik dari sejumlah kecil pemimpin bisnis yang telah menikmati keistimewaan khusus sejak sistem yang baru.
Dua pekan lalu, pemerintah memutuskan menggandakan siaran TV digital di 43 wilayah di seluruh Indonesia. Pemenangnya adalah Emtek Group (induk perusahaan SCTV dan Indosiar), Metro TV Group, RCTI-MNC, Viva (pemilik ANTV dan TVOne) dan Trans Group (pemilik TransTV dan Trans7). Kelima perusahaan ini merupakan bagian dari konglomerat lama yang telah lama menjadi raja di industri TV analog. Hanya ada satu pemain yang relatif baru, Nusantara TV. Dengan kata lain, oligopoli industri penyiaran di tanah air telah meluas.
Kita tahu bahwa Indonesia tertinggal jauh dalam digitalisasi siaran TV. Padahal peralihan televisi analog ke digital merupakan keputusan yang dibuat oleh International Telecommunication Union pada 2006. Beberapa negara lain menghentikan siaran analog – proses yang dikenal sebagai analog switching, atau ASO – lima tahun lalu. Hal ini memungkinkan frekuensi 700MHz yang sebelumnya digunakan oleh industri penyiaran digunakan untuk kepentingan publik yang lebih mendesak seperti komunikasi darurat saat bencana dan internet nirkabel.
Indonesia yang memulai proses transisi pada tahun 2012 tidak mengalami kemajuan karena tersandera oleh kepentingan para pemain lama. Frekuensi publik 700 MHz digunakan oleh 14 stasiun televisi nasional yang setiap tahun memperoleh pendapatan iklan lebih dari 140 triliun rupee, atau 85 persen dari total belanja iklan nasional. Penting untuk dicatat bahwa sebagian besar pendapatan ini dinikmati oleh hanya beberapa pengusaha besar, dan tidak dibagikan secara merata di antara semua penyiar di seluruh negeri.
Model oligopolistik kepemilikan stasiun TV di Indonesia banyak dikritik oleh masyarakat dan akademisi. Tidak hanya fakta bahwa kue ekonomi tidak dibagikan secara adil, tetapi juga bahwa penggunaan frekuensi publik secara terpusat mengancam keragaman informasi. Suara minoritas dan kelompok marginal sulit mendapatkan tempat.
Kementerian Komunikasi dan Informatika seharusnya memanfaatkan momentum digitalisasi ini untuk mereformasi industri penyiaran Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan memisahkan penyedia infrastruktur multipleks dari perusahaan yang menyediakan konten siaran. Perusahaan telekomunikasi bisa saja diundang untuk menjadi pemilik multiplexer, yang memungkinkan semua stasiun TV bersaing dalam arena permainan yang setara.
Sayangnya, pemerintah melewatkan kesempatan berharga ini. Pemberian izin penyelenggaraan multiplexing televisi digital bagi seluruh konglomerat stasiun televisi berarti tidak akan ada perubahan pada sistem penyiaran nasional kita. Pemilik stasiun televisi yang sering dikritik karena menggunakan frekuensi publik untuk mempromosikan industri komersial atau politik pribadinya akan bebas untuk terus melakukannya. Mereka bahkan dapat mengontrol konten stasiun TV siaran lain yang menyewa saluran digital mereka.
Pemerintah dapat menggunakan alasan bahwa sistem multipleksing bersama yang diterapkan akan mendorong persaingan usaha yang sehat. Ini karena tidak ada pemain yang memperoleh konsesi yang jauh lebih besar daripada pesaing mereka. Namun model kompromi ini hanya berfungsi untuk mengingatkan publik akan kekuatan para pemimpin bisnis yang memiliki stasiun televisi di negeri ini.
Baca cerita lengkapnya dalam bahasa Cuaca Inggris majalah
“Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert.”