Tempo.co, Jakarta – Center for Strategic and International Studies (CSIS) melaporkan bahwa masih terdapat beberapa permasalahan dalam mengupayakan perdagangan dan investasi berkelanjutan di Indonesia. Laporan CSIS baru-baru ini menyebutkan komitmen pemerintah terhadap ekonomi hijau masih kurang.
“Indonesia tampaknya masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam transisi menuju ekonomi hijau, yang merupakan salah satu permasalahan yang muncul di sektor perdagangan dan investasi,” kata Direktur CSIS Yos Rizal Damuri. Tempo Usai acara rilis laporan penelitian pada hari Senin tanggal 1 Juli.
Perdagangan dan investasi berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dari penggunaan energi ramah lingkungan, kata Yoss. Namun sejauh ini, kebijakan dan kemauan politik pemerintah terhadap energi bersih belum menunjukkan upaya yang serius, antara lain terlihat dari tumpang tindihnya target emisi net-zero dengan upaya penggunaan energi ramah lingkungan.
“Saat ini sepertinya masih banyak kesenjangan yang perlu diatasi. Tidak hanya investasi dan perdagangan, tapi juga regulasi yang perlu diperbaiki,” ujarnya.
Menurut Yose, transisi menuju perdagangan dan investasi ramah lingkungan berkaitan dengan transisi energi. Oleh karena itu, kata dia, dunia internasional membutuhkan lebih dari sekedar retorika – dan kemauan politik. “Kami yakin keseriusan pemerintah dan keseriusan dunia usaha akan mendorong perubahan ini,” kata Yoss.
Tidak cukup bervariasi
Diversifikasi investasi, khususnya di sektor mineral dan energi yang penting, dipandang sebagai cara untuk mendorong inisiatif modal yang ramah lingkungan.
Salah satu upaya untuk mendorong investasi dan perdagangan berkelanjutan adalah dengan mencoba melakukan diversifikasi investasi ke sektor domestik. Berdasarkan temuan CSIS, investor Tiongkok saat ini mencakup lebih dari 50 persen investasi di Indonesia.
“Dalam bidang mineral utama, kami sangat bergantung pada Tiongkok. Diversifikasi akan membantu kami mencapai perdagangan berkelanjutan dan menciptakan persaingan bagi mitra investasi dalam negeri,” katanya.
Yose menambahkan, kuatnya pengaruh Tiongkok terhadap investasi di Indonesia mengakibatkan lemahnya penekanan pada aspek lingkungan dan sosial. Hal ini membuat Indonesia berada dalam posisi rentan dan hanya mempunyai sedikit alternatif.
“Kita tidak boleh melihat Tiongkok sebagai hambatan atau hal negatif. Yang perlu kita lakukan adalah melakukan diversifikasi dan perbaikan pengelolaan investasi yang ada saat ini,” ujarnya.
Nandito Putra
klik disini Dapatkan update berita terkini dari Tempo di Google News
“Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert.”