Redaksi (The Jakarta Post)
Jakarta ●
Selasa, 31 Januari 2023
Undang-undang yang mengatur pekerjaan pekerja rumah tangga tampaknya baru, tetapi kita harus menetapkan kerangka waktu paling lama mungkin 10 tahun sebelum para pekerja ini, yang melakukan pekerjaan kasar tetapi penting di rumah kita, dibawa ke bawah undang-undang perburuhan negara, seperti pekerja lainnya. . Ketika itu terjadi, kita tidak memerlukan undang-undang tersendiri yang mendiskriminasi pekerja rumah tangga.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan DPR untuk mempercepat pembahasan RUU PRT. Sampai presiden mengangkat masalah ini, RUU itu terbengkalai selama hampir dua dekade, dalam kesunyian yang biasanya berisik dari pemerintah, politisi, dan bahkan organisasi masyarakat sipil.
Pekerja rumah tangga, yang mencakup semua pekerja rumah tangga seperti juru masak, pembersih, babysitter, pengasuh, tukang kebun, dan satpam, saat ini tidak memiliki perlindungan hukum karena undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia tidak menganggap mereka sebagai pekerja formal. Mereka biasanya bekerja berjam-jam dengan gaji kecil dan seringkali tidak menerima bonus akhir pekan atau liburan penuh. Banyak yang menanggung kerugian fisik dan emosional, dan hanya ada sedikit jalan bagi mereka di bawah undang-undang ketenagakerjaan saat ini.
Beberapa pembantu residen diperlakukan sebagai anggota rumah tangga. Sebaliknya, mayoritas diperlakukan seperti properti yang dapat dilakukan pemiliknya sesuka hati. Dengan tidak adanya perjanjian kontrak tertulis, banyak pengaturan yang tidak lebih dari hubungan tuan-budak.
RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga awalnya diperkenalkan pada tahun 2004 oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA-PRT). Tidak ada kemajuan yang dicapai dalam 19 tahun terakhir, yang menunjukkan kurangnya minat di antara politisi dan publik. Bahkan 26 organisasi dan individu yang terhimpun dalam JALA-PRT sudah se-agresif mungkin dalam mengadvokasi undang-undang tersebut.
RUU tersebut mengusulkan agar majikan dan pekerja rumah tangga menandatangani kontrak tertulis yang menjabarkan ketentuan kerja, yang mencakup gaji, jam kerja, dan tunjangan termasuk asuransi kesehatan, tunjangan akhir pekan dan liburan, pendidikan dan pelatihan. Ini juga menetapkan usia kerja minimum 18 tahun.
Ironisnya, ini adalah istilah yang sama yang ditegaskan Indonesia untuk dimasukkan dalam nota kesepahaman dengan pemerintah asing ketika warganya mempekerjakan pekerja migran Indonesia di rumah-rumah pribadi. Namun soal mempekerjakan rekan senegaranya di dalam negeri, pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang selama ini menyerukan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri bungkam.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Golkar telah menentang undang-undang tersebut karena kekhawatiran tentang formalisasi pekerja rumah tangga, yang diterima secara luas sebagai bagian dari sektor informal. Dua partai terbesar di negara itu menggemakan sentimen banyak orang yang enggan dibatasi oleh undang-undang tentang bagaimana mereka mempekerjakan dan memperlakukan “bantuan rumah tangga”.
Ada juga tekanan komersial dan politik untuk mempertahankan status quo.
Pasokan pekerja rumah tangga merupakan bisnis yang menguntungkan baik di dalam maupun di luar negeri, terutama di Malaysia, Singapura, Taiwan, Hong Kong dan Korea Selatan, serta hampir semua negara di Timur Tengah. Penghasilan yang dititipkan para pekerja ini ke keluarganya di Indonesia menghasilkan devisa yang sangat besar.
Minimnya lapangan kerja juga memaksa banyak orang Indonesia, terutama mereka yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan, untuk melakukan pekerjaan kasar yang, meskipun penting, dipandang rendah oleh masyarakat. Indonesia nyaman dengan reputasinya sebagai salah satu pemasok pekerja rumah tangga terbesar di dunia.
Ketika DPR menanggapi seruan Jokowi untuk mempercepat legislasi, harus mengambil perspektif jangka panjang. Undang-undang tidak hanya harus membawa para pekerja rumah tangga ini ke sektor formal, tetapi juga harus memberdayakan mereka melalui pendidikan dan pelatihan, sehingga mereka dapat mengangkat diri mereka ke tangga sosial dan ekonomi.
Banyak pekerja rumah tangga kemungkinan akan tetap bekerja di lapangan, tetapi mereka akan dianggap profesional berdasarkan undang-undang yang baru, dengan gaji dan kondisi kerja yang layak, rasa hormat dan martabat, baik mereka bekerja di Indonesia maupun di luar negeri.
“Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert.”