Dari tanggal 20 hingga 24 Mei, fregat FREMM kelas Aquitaine Angkatan Laut Prancis, FS Bretagne (D655), melakukan kunjungan pelabuhan ke pelabuhan Tanjung Priok, utara Jakarta, Indonesia, sebagai bagian dari penempatannya ke kawasan Indo-Pasifik. Pada tanggal 22 Mei, kapal tersebut menampung puluhan pejabat keamanan Indonesia, akademisi, jurnalis dan pemangku kepentingan utama lainnya, termasuk perwakilan dari beberapa badan keamanan Indonesia.
Kemitraan angkatan laut yang berkembang Antara Perancis dan Indonesia
Dalam sambutannya, Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Fabian Benon dan F.S Bretagne adalah Komandan, Kapten Gwennegan Le Bourhis menyoroti semakin berkembangnya kemitraan strategis antara Indonesia dan Perancis. Kapten Guenegan mencatat kesediaan Angkatan Laut Perancis untuk meningkatkan kerja sama dan kemampuan operasionalnya dengan TNI Angkatan Laut (TNI AL).
Lebih lanjut dijelaskannya FS Bretagne adalah kemampuan dan bagaimana pada bulan April FREMM Angkatan Laut Prancis lainnya, FS juga (D656), berhasil menembak jatuh Tiga rudal balistik Di Laut Merah, dengan demikian membuktikan kelasnya’ Efektivitas tempur yang terbukti.
Proyek kapal perang FDI ke Indonesia
Delegasi Indonesia menaiki FS Bretagne, termasuk Wakil Ketua TNI AL Laksamana Madya Erwin S. Altedharma juga mendapat gambaran kapal perang FDI tersebut. Penanaman modal asing tersebut dikatakan sejalan dengan pesatnya pembangunan peperangan permukaan yang dilakukan TNI AL dan operasi gabungan angkatan laut, serta meningkatnya kekhawatiran atas ancaman siber dan elektronik dalam peperangan laut.
Salah satu ciri utama FDI yang dikemukakan oleh perwakilan kelompok Angkatan Laut adalah statusnya sebagai “kapal perang digital” pertama. Penunjukan ini menggarisbawahi integrasi kapal dalam pertimbangan keamanan digital dan cyber sejak tahap desain awal. Karakteristik penting lainnya dari FDI yang diberikan kepada perwira TNI AL adalah berkurangnya radar cross section (RCS) dan rendahnya tanda tangan magnetik, inframerah, dan elektronik.
Selain itu, FDI ditawarkan dalam konfigurasi multi-misi penuh, yang berarti TNI AL dapat memperoleh semua sensor dan senjata anti-udara, anti-kapal selam, anti-permukaan, asimetris, dan peperangan elektronik. Ini termasuk 32x SYLVER VLS untuk rudal ASTER 15 dan 30, umpan akustik CANTO, radar multi-fungsi Sea Fire 4D AESA, serta sonar array derek dan kedalaman variabel yang dipasang di lambung kapal.
Selain itu, serupa dengan FDI yang saat ini sedang dibangun untuk angkatan laut Perancis dan Yunani, FDI Indonesia akan memiliki dua pusat data, sistem manajemen keamanan siber terpusat, dan pusat peperangan asimetris khusus dengan optronik siang dan malam 360⁰. Sistem pengawasan dengan tampilan resolusi tinggi dan augmented reality.
Satu pusat data cukup untuk mengelola seluruh operasional FDI, sedangkan pusat data kedua siap mengambil alih segera jika diperlukan, misalnya jika pusat data pertama mati karena serangan siber/seluler. Menurut perwakilan tim Angkatan Laut, ini adalah bagian dari kemampuan redundansi digital FDI.
CMS dan konektivitas data
Untuk Combat Management System (CMS), PMA Indonesia akan menggunakan SETIS®, sehingga TNI AL dapat bergabung dalam ‘SETIS Club’ bersama angkatan laut lain di seluruh dunia yang menggunakan CMS. Melalui klub ini, jelas tim TNI AL, TNI AL dapat belajar dari pengalaman angkatan laut lain dengan SETIS dan jika diinginkan, berbagi wawasannya sendiri. Selain itu, TNI AL berkesempatan untuk meminta pemutakhiran perangkat lunak yang disesuaikan dengan kebutuhan spesifiknya.
Perwakilan Angkatan Laut mengatakan CETIS sepenuhnya dapat dioperasikan dengan SUBTICS® CMS, yang akan dipasang pada Scorpene Evolved two milik Indonesia.
FDI dilengkapi dengan I4®Drones Management/Mission Software dan hanggar UAV khusus untuk mengintegrasikan kebutuhan armada TNI AL di masa depan dengan platform yang tidak dimodifikasi. Tergantung pada permintaan Indonesia, FDI dapat dipasang di berbagai jaringan data taktis, termasuk Link 11, Link 16, Link 22, dan Link Y.
Menariknya, dalam pemaparannya ditegaskan bahwa FDI merupakan kapal perang bebas ITAR.
Produksi lokal, pemeliharaan dan kesiapan
Navy News mendapat klarifikasi lebih lanjut bahwa FDI pertama untuk Indonesia dapat dibangun di Prancis dalam waktu 36 bulan, sedangkan FDI berikutnya akan dibangun secara lokal oleh perusahaan pembuat kapal milik negara, PT PAL Indonesia. Namun, seperti Scorpène Evolved, Prancis terbuka terhadap gagasan produksi lokal penuh dari kapal pertama.
PT PAL Indonesia melaporkan Berita Angkatan Laut Apalagi dengan aspek “fregat digital”, pihaknya tertarik pada FDI dan akan menyambut baik gagasan manufaktur lokal.
Program pendidikan dan pelatihan komprehensif bagi personel TNI AL yang mengawaki kapal juga diusulkan. Untuk pemeliharaan, FDI akan memiliki sistem pemeliharaan prediktif terintegrasi yang dirancang untuk mengantisipasi dan menyelesaikan potensi masalah sebelum menjadi kritis.
Dari segi kesiapan, FDI dirancang dengan ketersediaan teknis 45 hari hingga 300 hari per tahun. Masa hidup kapal ini mungkin lebih dari 30 tahun.
Kepala Staf TNI AL mengunjungi galangan kapal tim TNI AL
Tiga hari sebelum kedatangan FS Bretagne di pelabuhan Jakarta, The Angkatan Laut Indonesia Panglima Tertinggi, Laksamana. Muhammad Ali mengunjungi galangan kapal Naval Group di Lorient, Prancis. Laksamana Ali menaiki kapal FDI pertama. Laksamana RonarkUntuk Angkatan Laut Perancis (Marine Nationale), melihat kemajuan pembangunannya.
Dalam wawancara berikut dengan Berita Angkatan LautLaksamana Ali menyampaikan pandangannya mengenai FDI dan beberapa aspek rencana pengadaan Angkatan Laut Indonesia di masa depan:
“FTI adalah kapal perang yang sangat modern….mungkin menjadi salah satu opsi pengadaan kami di masa depan”
Panglima TNI Angkatan Laut, Laksamana. Muhammad Ali – 17 Mei 2014
“Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert.”