Jakarta (Antara) – Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, merupakan salah satu garda terdepan Indonesia, dengan masyarakat yang berbeda agama, suku, dan budaya.
Nilai toleransi secara rutin dan luas dilakukan di seluruh wilayah, salah satu contohnya adalah rumah ibadah di Batu Hitam, Kecamatan Bunguran Timur, Naduna.
Dua rumah ibadah yang terletak di kota tua Benaki adalah Masjid Al-Mukharramah milik umat Islam dan Kelenteng Pu Tek Si milik Konghucu.
Jarak kedua rumah ibadah tersebut kurang lebih dua meter dan kedua bangunan tersebut memiliki dimensi yang sama. Masjid Al-Mukharramah saat ini sedang direnovasi.
Meski dibangun berdampingan, belum ada kasus kelompok agama yang mengeluhkan ketidaknyamanan atau melarang satu sama lain untuk menjalankan ibadahnya. Kedua kelompok agama tersebut telah hidup damai selama bertahun-tahun.
Toleransinya berupa saling memberi ruang untuk memenuhi ajaran agama masing-masing sesuai kitab suci agama.
Toleransi yang tinggi di kota tua Benaki, Natuna, membuat kawasan tersebut mendapat status Desa Modernisasi Keagamaan dari Kementerian Agama.
Hubungan harmonis di Natuna diharapkan dapat menular ke wilayah lain di Indonesia dengan ditetapkannya wilayah tersebut sebagai desa modernisasi keagamaan. Pada akhirnya, hal ini dapat memperkuat toleransi antaragama di negara ini.
Selain kota tua Benaki di Batu Hitam, Bunguran Timur, Kementerian Agama juga memberikan status yang sama kepada Kecamatan Cedanao.
Budaya
Kebanyakan orang di Natuna berbicara bahasa Melayu dan berkomunikasi dalam bahasa Melayu. Menariknya, bahasa Melayu yang digunakan masyarakat di Naduna mirip dengan bahasa Melayu Terengganu yang digunakan di Malaysia.
Kesatuan bahasa tersebut disebabkan karena Datuk Kaya, keturunan Kesultanan Patani yang pernah menguasai Semenanjung Malaya bagian utara, Kelantan dan Terengganu, merupakan kepala suku pertama di wilayah tersebut.
Kebudayaan Melayu tumbuh subur di Natuna. Meski demikian, masyarakat Melayu di pulau tersebut tidak pernah melarang etnis lain untuk meneruskan tradisi budayanya. Kelompok etnis non-Melayu bebas berekspresi atau mengekspresikan budayanya.
Contoh keanekaragaman budaya adalah Bumithanam yang dikelola oleh masyarakat Jawa yang sebagian besar bermukim di Kecamatan Bunguran tengah.
Pemerintah Kabupaten Natuna menunjuk perwakilannya untuk menghadiri acara kebudayaan yang diselenggarakan oleh etnis non-Melayu.
Donasi tanah merupakan tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Jawa setahun sekali, biasanya setelah panen. Tradisi tersebut merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan mereka makanan melalui Planet Bumi berupa hasil ladang mereka. Kegiatan ini biasanya dimeriahkan dengan tarian Kuta Lumping yang merupakan warisan seni dan budaya Jawa.
Bukti nyata bahwa masyarakat Melayu tidak pernah melarang budaya non-Melayu terlihat pada perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2023. Pemerintah daerah memberikan ruang bagi para penikmat budaya dari berbagai budaya untuk menampilkan seni budayanya masing-masing.
Masyarakat setempat tidak keberatan dengan kegiatan tersebut. Sebaliknya, mereka menghidupkannya dan membantu orang-orang dari budaya lain menemukan kebutuhan untuk membuat pakaian dan atribut.
Acara berlangsung sukses dan meriah dengan partisipasi ribuan masyarakat dari berbagai suku. Operasi serupa direncanakan pada tahun 2024.
Saling membantu
Toleransi yang tinggi juga terlihat dari sambutan hangat terhadap hari raya seperti Tahun Baru Imlek yang dirayakan oleh umat Konghucu.
Pada Tahun Baru Imlek, masyarakat etnis Tionghoa dan kelompok agama yang memiliki pemandangan serupa di Natuna menghiasi kuil mereka dan jalan menuju kuil dengan lentera merah. Mereka menggantungkan lentera di depan rumahnya, dan anggota ras lain biasanya membantu menggantungkan lentera tersebut.
Keunikan lainnya adalah adanya penari singa di Kuil Phu Teck Si. Mereka adalah Muslim Melayu dari ras lain. Kebanyakan penonton yang menonton acara tersebut juga berasal dari ras dan agama lain.
Pada hari raya Islam, umat beragama lain berkeliling kota dengan cara tersendiri, seperti berkeliling kota menjelang Idul Fitri (Thakfiran).
Pemilik toko kelontong biasanya menawarkan minuman berkarbonasi dan kalengan kepada pelanggan Muslim mereka sebagai bonus. Dengan begitu, umat Islam bisa menyajikan minuman kepada tamu Idul Fitrinya.
Ada pula yang menyumbangkan dananya kepada karang taruna untuk membangun instalasi lampu plug-in, membeli bahan bakar dan peralatan lainnya untuk membangun instalasi lampu yang dirakit pada hari raya Idul Fitri, baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
Melalui contoh-contoh tersebut, terlihat bahwa kelompok agama di Natuna berhasil saling berbagi dan memberikan ruang terhadap identitas dan perbedaan agama dan etnis tanpa merasa terancam atau merasa keyakinan dan haknya dibatasi.
Natuna adalah contoh yang baik bagaimana meskipun Indonesia dibangun berdasarkan keyakinan agama, budaya, dan etnis yang berbeda, namun tetap bisa berdiri bersama dengan damai.
Berita terkait: Wakil Presiden menghimbau masyarakat Indonesia untuk turut menjaga persatuan dan kerukunan
BERITA TERKAIT: Merangkul Biksu Buddha di Tudang, Wajah Toleransi Indonesia
“Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert.”