Konstitusi Indonesia memisahkan militer dari politik sipil setelah jatuhnya Sukarto pada tahun 1998. Namun polisi tidak mendapatkan memo tersebut.
Indonesia punya lelucon: akronim republik yang banyak digunakan, NKRI, sebenarnya singkatan dari Negara Kepolisian Republik Indonesia — “Indonesia adalah negara polisi.” Karikatur dan meme di media sosial menunjukkan betapa kuatnya polisi dalam sistem peradilan Indonesia saat ini.
Orang Indonesia mungkin bercanda tentang hal itu, tetapi mereka sangat serius. Dalam reformasi yang melanda Indonesia setelah jatuhnya rezim Suharto pada tahun 1998, polisi tampaknya luput dari pengawasan. Reformasi tidak akan lengkap sampai sistem peradilan ditangani.
Selama 32 tahun pemerintahan Sukarto, militer adalah badan politik yang paling kuat. Itu bisa membatalkan sistem peradilan pidana, termasuk polisi, jaksa dan hakim untuk menindak lawan politik rezim. Ketika Suharto lengser pada 1998, gerakan reformasi mendorong pemisahan militer dari politik sipil. Pada tahun 2000, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan dua amandemen konstitusi yang menghapus otoritas militer atas polisi dan menjadikan polisi sebagai lembaga sipil. Amandemen ini memaksa militer untuk melepaskan keterlibatannya dalam politik dan tanggung jawabnya untuk keamanan dalam negeri, alih-alih menyerahkan tanggung jawab kepada polisi. Efek dari reformasi ini adalah bahwa polisi dinaikkan ke tingkat yang sama dengan tentara. Polisi sekarang memiliki kewenangan konstitusional untuk menegakkan hukum. Namun reformasi menimbulkan masalah baru. Dengan KUHAP 1981, rezim Suharto mengendalikan sistem peradilan pidana dengan menetapkan polisi sebagai otoritas penuntut dan penuntut umum hanya sebagai tukang pos dalam penyelidikan pra-sidang. Tetapi amandemen konstitusi tidak mengatur hubungan antara polisi, kejaksaan dan kehakiman. Ini berarti bahwa polisi tetap memiliki peran yang relatif otonom dalam penegakan hukum, bertindak sebagai petugas penyidik dan penuntut yang memutuskan apakah akan menuntut. Polisi Indonesia bukan hakim dan tidak dilatih di sekolah hukum. Peran mereka adalah mengumpulkan bukti untuk menghindari penuntutan di persidangan. Polisi bekerja dengan keyakinan bahwa mereka membimbing proses peradilan pidana untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.
Meski bukan bagian dari militer, UU Kepolisian tahun 2002 menjunjung tinggi karakter militer mereka. Sebagian besar tugas dan wewenang Polri dalam UU tersebut disalin dari ketentuan yang berkaitan dengan peran militer dalam menjaga keamanan pada masa Soeharto. Tidaklah mengherankan jika polisi terus mengadopsi pendekatan pertahanan yang represif dalam investigasi kriminal daripada kepatuhan pada aturan hukum. Terakhir, pada tahun 2002, kepolisian ditempatkan langsung di bawah kekuasaan Presiden. Bahkan mantan Kapolri Awaluddin Jamin secara terang-terangan menyatakan bahwa meski reformasi kepolisian berubah wujud menjadi organisasi sipil, namun pada hakikatnya polisi tetap bercorak militer.
Hierarki ketat seperti militer ini meluas ke cara polisi beroperasi. Penyidik kepolisian dapat menangkap atau menahan tersangka hanya atas perintah atasannya. Penyidik juga harus menyampaikan rencana penyidikan kepada Kapolres. Seperti militer sebelum mereka, polisi kebal dari tuduhan kriminal seperti korupsi, tindakan pemaksaan ilegal atau perlakuan buruk terhadap tahanan selama persidangan pidana. Dugaan perbuatan melawan hukum hanya dapat diselesaikan melalui ‘mekanisme pemeriksaan praperadilan’ sebelum persidangan di depan pengadilan negeri.
Seorang hakim tunggal memutuskan klaim dan tidak ada cara untuk mengajukan banding. Karena hakim praperadilan memiliki keterbatasan waktu untuk memeriksa perkara, maka dalam praktiknya ia cenderung memeriksa perkara hanya untuk kebenaran administratifnya. Akibatnya, hakim praperadilan jarang memutuskan bahwa paksaan tidak sah.
Tuduhan pelanggaran polisi, mengambil tindakan disipliner atau memulai proses sepenuhnya menjadi tanggung jawab pimpinan polisi. Menurut laporan dari Legal Aid dan Amnesty International, hal ini terus memungkinkan petugas polisi yang terlibat dalam kejahatan berat untuk bertindak tanpa hukuman.
Perlindungan hak asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi antara tahun 1999-2002, yang menunjukkan bahwa proses pidana selanjutnya akan diatur oleh proses hukum. Namun, KUHAP masih ada dan amandemen awal konstitusi memperkuat posisi polisi. Pada tahun-tahun awal, para reformis tidak memprioritaskan prosedur pidana, dan tampaknya kesempatan itu telah tertutup. Akibatnya, polisi terus mendominasi penyelidikan, tanpa banyak pengawasan magisterial. Jaksa penuntut umum memindahkan kasus dari departemen kepolisian ke pengadilan tanpa mempengaruhi proses penyidikan, dan pengadilan enggan untuk memeriksa perilaku polisi selama penyidikan. Mengubah kenyataan ini tidaklah mudah. Polisi bersifat demokratis ketika mereka bertindak sesuai dengan undang-undang, ketika hukum yang mereka ikuti memasukkan hak asasi manusia internasional, ketika mereka bertanggung jawab kepada otoritas di luar mereka, dan ketika mereka memprioritaskan untuk menanggapi kebutuhan keamanan individu. Menghapus aspek militer dari undang-undang kepolisian dan menetapkan uji yudisial atas pemaksaan polisi adalah langkah pertama menuju kepolisian Indonesia yang lebih demokratis.
(Cerita ini tidak diedit oleh staf DevDiscourse dan dibuat secara otomatis dari umpan sindikasi.)
“Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert.”