Indonesia, sebagai salah satu produsen batu bara terbesar di dunia, tidak kebal terhadap berbagai tantangan lingkungan. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, produksi batu bara Indonesia mencapai 766,95 juta ton pada tahun 2023, melebihi target yang dicapai sebesar 110,43%. Jumlah tersebut merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia (Setiawan, 2024). Namun, terlepas dari pencapaian besar ini, industri batubara Indonesia, sebagai salah satu pilar perekonomian negara, masih menghadapi tekanan besar dari masyarakat global dan masyarakat lokal untuk menerapkan praktik-praktik yang lebih ramah lingkungan. Meskipun sering dipromosikan dengan retorika ramah lingkungan, tantangan nyata masih ada dalam mengatasi praktik greenwashing di Indonesia, yang melemahkan dan merugikan negara itu sendiri dengan berupaya menyembunyikan dampak negatif industri terhadap lingkungan.
Penyebaran konsep keberlanjutan di seluruh dunia juga membawa beberapa tantangan. Greenwashing, juga dikenal sebagai greenwashing, adalah strategi di mana perusahaan atau organisasi berusaha untuk menampilkan diri mereka ramah lingkungan, tampaknya mendukung gagasan keberlanjutan, meskipun mereka terus melakukan aktivitas yang merusak alam (Kusuma, 2023). Dalam konteks industri batubara Indonesia, greenwashing sering kali terjadi melalui klaim seperti peningkatan efisiensi energi, pengurangan emisi, atau investasi pada teknologi ramah lingkungan. Namun pada kenyataannya, penambangan dan pembakaran batu bara masih menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan manusia dan ekosistem. Sebagai seorang penulis yang tumbuh di daerah penghasil batu bara di Indonesia, saya menyaksikan bahwa greenwashing sudah merajalela sehingga menimbulkan kekhawatiran dan kerugian besar bagi masyarakat.
Indonesia, sebagai negara yang berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai dengan Perjanjian Paris yang ditandatangani pada tahun 2016 (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016), harus menghadapi kenyataan bahwa industri batubara merupakan salah satu penyumbang besar emisi tersebut. Retorika ramah lingkungan saja tidak cukup untuk meredakan kekhawatiran masyarakat. Banyak masyarakat yang masih belum menyadari bahaya greenwashing, meskipun beberapa individu, termasuk aktivis lingkungan, sudah mulai menyerukan tindakan damai melawan greenwashing (Pincasari, 2023). Berbagai wilayah di Indonesia telah menyaksikan dampak buruk dari kerusakan lingkungan, mulai dari suhu yang terlalu tinggi, langit yang berasap, hingga lokasi penambangan yang memakan banyak korban jiwa.
Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya pemahaman serta permintaan masyarakat terhadap produk atau layanan ramah lingkungan, penting bagi masyarakat untuk memahami greenwashing, yang sering dimanfaatkan oleh individu oportunis yang melihat peluang menguntungkan di balik tren ramah lingkungan. Masyarakat harus menyadari bahwa klaim palsu mengenai keramahan lingkungan membawa risiko serius karena dapat menghambat upaya mitigasi lingkungan yang sebenarnya (The Conversation, 2022). Peraturan yang mengatur masalah ini sudah ada, seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan informasi yang akurat, terbuka dan tepat waktu mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia ). , 2009). Namun penafsiran dan penegakan undang-undang terkait praktik greenwashing masih ambigu, sehingga mengakibatkan lemahnya penegakan hukum dan tidak memadainya perlindungan masyarakat terhadap praktik greenwashing.
Seiring dengan meluasnya greenwashing, peraturan-peraturan yang ada di Indonesia seperti yang disebutkan di atas masih belum memadai. Keterbatasan peraturan ini gagal untuk sepenuhnya mengatasi kontroversi seputar isu greenwashing dalam pelabelan dan periklanan kelestarian lingkungan. Greenwashing telah menjadi isu global yang tidak bisa dianggap remeh, sehingga penting tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi negara-negara lain untuk secara komprehensif mengubah atau meninjau undang-undang yang mencakup greenwashing. Misalnya, Indonesia dapat belajar dari Korea Selatan, yang juga berlokasi di Asia, yang mengumumkan amandemen undang-undang industri teknologi lingkungan untuk mengenakan denda bagi pelanggaran pelabelan ramah lingkungan dan periklanan. “Rencana Aksi Lapangan Perdagangan Sumber Daya dan Iklim” yang diterapkan oleh Korea Selatan pada tahun 2023 menyoroti perdagangan yang adil untuk menciptakan lingkungan transaksi yang menjamin hak-hak konsumen dan memungkinkan hukuman bagi praktik greenwashing (Law Times, 2023).
Revisi undang-undang industri teknologi lingkungan yang diratifikasi oleh Korea Selatan adalah efektif karena mereka berhasil mengenakan denda pada perusahaan yang terbukti melakukan praktik greenwashing. Indonesia dapat mengadopsi pendekatan serupa menuju masa depan lingkungan hidup, sosial dan tata kelola yang berkelanjutan. Hal ini penting bagi Indonesia karena tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim sangat besar dan berat, dan greenwashing juga dapat berdampak signifikan terhadap keuangan Indonesia, terutama karena pendanaan bantuan iklim di negara ini masih dalam tahap awal. Selain itu, tanggapan positif dari berbagai aktor di Indonesia masih kurang, sehingga menyoroti perlunya upaya konkrit dan transparan untuk mengatasi greenwashing dan mendorong praktik berkelanjutan.
Upaya-upaya berdasarkan prinsip-prinsip ESG meliputi:
Pemerintah Indonesia harus memperkuat peraturan dan pengawasan terhadap industri batubara dengan menerapkan standar penilaian dampak lingkungan yang lebih ketat, meningkatkan transparansi dalam pelaporan, dan menerapkan hukuman yang tegas bagi pelanggar. Indonesia dapat belajar dari negara lain yang memiliki peraturan greenwashing yang luas, seperti Australia, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Swedia. Pengawasan yang kuat sangat penting untuk mencegah praktik greenwashing dan memastikan perusahaan bertanggung jawab atas dampak lingkungannya.
Transparansi adalah kunci dalam memerangi greenwashing. Perusahaan batubara harus diwajibkan untuk melaporkan secara publik mengenai praktik lingkungan hidup mereka, termasuk emisi gas rumah kaca, pengelolaan limbah, dan reklamasi lahan. Dengan menyediakan informasi yang jelas dan mudah diakses, seperti data publik online, masyarakat akan lebih mampu memilih produk dan layanan yang konsisten dengan nilai-nilai keberlanjutan, dan juga dapat mengkritik praktik para pelaku terkait.
Selain itu, perusahaan harus mendorong inovasi dan investasi pada teknologi ramah lingkungan. Meskipun industri batu bara mungkin tidak dapat sepenuhnya menghindari dampak negatifnya, langkah-langkah seperti meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengembangkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) dapat membantu mengurangi dampaknya terhadap lingkungan. Transfer pengetahuan teknologi juga sangat dianjurkan, namun klaim mengenai investasi pada teknologi ramah lingkungan harus didukung oleh bukti nyata implementasi dan dampak yang signifikan untuk menghindari klaim yang tidak berdasar.
Peran masyarakat sipil juga penting dalam mengawasi dan memimpin perubahan dalam industri batubara. Melalui kampanye kesadaran masyarakat, advokasi dan pemantauan independen, masyarakat dapat meningkatkan tekanan pada perusahaan dan pemerintah untuk bertindak secara bertanggung jawab terhadap lingkungan. Kekhawatiran dapat didiskusikan bersama dalam forum yang relevan untuk memastikan partisipasi inklusif. Di era informasi yang semakin mudah diakses, kemampuan masyarakat sipil untuk mengungkap praktik greenwashing dan menuntut akuntabilitas akan semakin kuat.
Melalui upaya yang didasarkan pada prinsip-prinsip lingkungan hidup, sosial dan tata kelola, peraturan yang ketat, transparansi, inovasi teknologi, dan keterlibatan aktif masyarakat sipil, Indonesia dapat bergerak menuju industri batubara yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Menghadapi tantangan greenwashing di industri batubara tidak mempunyai solusi langsung dan mudah, bahkan negara-negara besar pun pernah menghadapi tantangan ini. Namun, melalui sinergi antara peraturan yang ketat, peningkatan transparansi, investasi pada teknologi ramah lingkungan, dan keterlibatan aktif masyarakat sipil, Indonesia dapat bergerak menuju industri batubara yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Hanya melalui tindakan nyata dan komitmen nyata kita dapat memastikan bahwa wacana hijau bukan sekadar slogan kosong, melainkan mencerminkan perubahan nyata dan positif dalam melindungi planet kita.