Absennya Indonesia dalam kelompok besar BRICS mencerminkan kebijakan non-blok selama beberapa dekade Bisnis dan ekonomi
Medan, Indonesia – india tampaknya cocok untuk bergabung dengan BRICS, kelompok negara berkembang yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan.
Negara di Asia Tenggara yang berpenduduk lebih dari 270 juta jiwa ini merupakan negara dengan perekonomian berkembang yang besar, dan menurut beberapa perkiraan, negara ini akan menjadi salah satu dari lima perekonomian terbesar di dunia pada pertengahan abad ini.
Namun ketika Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengumumkan perluasan keanggotaan BRICS di Johannesburg pekan lalu, Indonesia tidak ada dalam daftar tersebut, yang mencakup Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Para analis mengatakan keputusan Indonesia untuk tetap berada di luar BRICS meskipun terdapat kesamaan dengan negara-negara berkembang lainnya mencerminkan kekhawatiran yang sudah lama ada mengenai terjebak dalam aliansi geopolitik serta ketidakpastian mengenai manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari keanggotaan tersebut.
“Hal ini sebenarnya tidak mengherankan, mengingat banyak analis dan mantan diplomat telah memperingatkan agar tidak bergabung dengan kelompok BRICS, dan manfaat ekonominya tidak jelas dan nyata, sementara dampak politik dan ekonomi dari reaksi Barat cukup pasti,” Raditio Dharmaputra. ujar dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga kepada Al Jazeera.
Peppas Aktif
Menjelang KTT BRICS di Afrika Selatan pekan lalu, sekitar 40 negara tampak menyatakan minatnya untuk bergabung dengan kelompok tersebut, termasuk Indonesia.
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo, setelah menghadiri rapat umum di Johannesburg pada hari Kamis, mengatakan ia sedang mempertimbangkan keanggotaan tetapi tidak ingin “terburu-buru”.
Berbicara tentang keanggotaan Indonesia, Anil Sokal, duta besar Afrika Selatan untuk BRICS, mengatakan bahwa Jakarta telah meminta untuk menunda konsultasi dengan mitra-mitranya di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengenai langkah tersebut.
Dharmaputra dari Universitas Airlangga mengatakan salah satu ketakutan Indonesia mungkin adalah gagasan untuk bergabung dengan negara-negara seperti China dan Rusia.
Citra Indonesia yang dipandang sebagai bagian dari dunia Sino-Rusia akan menjadi masalah, ujarnya.
Apalagi Indonesia sangat mengedepankan kebijakan luar negerinya yang independen dan aktif, bagaimana bisa menjualnya ke negara lain, padahal Anda satu grup dengan China dan Rusia?
Indonesia adalah anggota pendiri Gerakan Non-Blok selama Perang Dingin dan selama beberapa dekade telah menganut pendekatan “bebas-aktif” atau pendekatan independen dan aktif dalam kebijakan luar negeri, termasuk mengambil peran dalam menengahi perdamaian di seluruh dunia. Seperti yang terjadi saat Widodo mengunjungi Rusia dan Ukraina pada Juni tahun lalu.
Johannes Suleiman, dosen hubungan internasional di Universitas Jindral Ahmad Yani Bandung, mengatakan “tidak ada manfaatnya” bagi Indonesia untuk bergabung dengan BRICS.
Dia mengatakan kepada Al Jazeera: “Kami belum melihat hasil nyata apa pun dari kelompok BRICS selain menjadi kelompok yang akan menghadapi Amerika Serikat, dan tampaknya tidak ada kemajuan nyata yang dicapai.”
Dan meskipun BRICS telah menggambarkan dirinya sebagai sebuah blok yang mengarah ke negara-negara selatan—dengan mendirikan New Development Bank (NBD) sebagai alternatif terhadap Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia, dan bahkan membicarakan kemungkinan mata uang baru—persepsi yang ada saat ini adalah adalah bahwa BRICS telah menggambarkan dirinya sebagai sebuah blok kampanye. Bagi negara-negara Selatan, BRICS menciptakan Bank Pembangunan Baru (NBD) sebagai alternatif terhadap Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia, dan bahkan meningkatkan kemungkinan terciptanya mata uang baru. Pengelompokan ini merupakan aliansi anti-Barat yang sedang berkembang dan dapat mempersulit hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat.
Pekan lalu, pemerintah Indonesia dan produsen pesawat AS Boeing sepakat untuk menyelesaikan penjualan 24 jet tempur F-15EX ke Jakarta setelah Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto mengunjungi Washington, DC.
Lebih masuk akal, kata Suleiman dari Universitas Jindral Ahmad Yani, jika Indonesia menjadi bagian dari kelompok seperti ASEAN dengan negara-negara tetangganya, daripada pengelompokan negara-negara yang hanya memiliki sedikit ikatan sejarah atau komersial dengan Indonesia.
“Indonesia sudah punya hubungan dengan China, dan Rusia kini menjadi sasaran boikot internasional, jadi tidak ada manfaatnya di sana,” ujarnya. “Afrika Selatan sedang menghadapi krisis keuangan dan kami juga dapat bekerja sama secara langsung dengan negara lain seperti India.”
Di bawah kepemimpinan Widodo, Indonesia telah menetapkan tujuan pembangunan yang ambisius, termasuk memindahkan ibu kotanya ke Kalimantan Timur dan membangun kapasitas untuk memproses barang menjadi produk jadi di dalam negeri, yang merupakan landasan upaya Jakarta untuk mencapai PDB per kapita sebesar $25.000 pada tahun 2019. 2045.
Dharmaputra mengatakan Indonesia juga mengincar kelompok global lain yang menawarkan manfaat lebih nyata di bidang-bidang seperti perdagangan, seperti Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang memiliki 38 negara anggota.
“Indonesia ingin bergabung dengan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dan bergabung dengan BRICS akan dianggap sebagai hambatan untuk mencapai tujuan tersebut,” ujarnya.
Suleiman mengatakan upaya kelompok BRICS untuk menantang dominasi dolar AS kemungkinan besar akan dianggap tidak menarik bagi Indonesia.
“Itu adalah keputusan yang sangat rasional,” tambahnya. “Semuanya akan sama apakah kita bergabung atau tidak.”
“Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert.”