Indonesia menghentikan usulan perubahan undang-undang yang akan memberi presiden lebih banyak kekuasaan, namun para ahli memperingatkan bahwa revisi tersebut bisa menjadi bumerang
Dihapus, tapi terbuka untuk kebangkitan
Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya badan peradilan yang berwenang mengadili sengketa pemilu dan membatalkan seluruh atau sebagian undang-undang yang ada jika dianggap inkonstitusional.
Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak pada tanggal 27 November, ketika 204 juta pemilih yang memenuhi syarat akan memilih 38 gubernur, 416 bupati, dan 98 walikota.
“Oleh karena itu, penting untuk menjaga independensi pengadilan dan menjauhkan hakim dari campur tangan pihak luar,” kata Mdm Bvitri.
Meskipun Parlemen mungkin telah menghapus amandemen tersebut dari daftar rancangan undang-undang prioritasnya, upaya untuk mengubah undang-undang tersebut dapat dihidupkan kembali kapan saja sebagai rancangan undang-undang prioritas yang diusulkan oleh pemerintah.
RUU semacam itu harusnya dirancang dan dibahas oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menteri saat ini, Yasona Lavoli, adalah anggota PDI-P yang menolak perubahan undang-undang.
Para ahli mencatat bahwa para politisi mungkin mencoba dengan sengaja melakukan amandemen pada parlemen periode 2024-2029, yang mungkin didominasi oleh partai-partai politik yang mendukung pemerintahan baru Prabowo.
Aliansi Indonesia Maju yang dimotori oleh Prabowo akan memenangkan 280 dari 580 kursi di parlemen. Dua partai: Partai Kebangkitan Bangsa (BKP) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) telah menyatakan kesediaannya untuk mendukung pemerintahan Prabowo, yang akan menambah jumlah kursi koalisi menjadi 417.
“Kita harus memperhatikan hal ini dan menolak segala upaya yang melemahkan independensi hakim,” kata MDM Bvitri.
“Kewenangan menilai seorang hakim harus dibatasi pada Komite Etik, itupun penilaiannya harus dibatasi pada etika dan moralnya. Kewenangan ini tidak boleh dilimpahkan kepada Presiden, Parlemen atau badan lainnya.”