Terungkap pada tahun 2023: Transformasi digital berdampak pada hukum TI dan film Indonesia
Lanskap komunikasi selalu bergerak, mencerminkan laju konstan era digital. Arus informasi yang tidak terkendali telah menimbulkan berbagai tantangan mulai dari misinformasi hingga dilema etika dan perdebatan peraturan yang terus berkembang.
Menyimpulkan beragam isu komunikasi yang mewarnai tahun ini, Departemen Ilmu Komunikasi UGM meluncurkan ‘Kaleidoskop Komunikasi 2023’ pada Jumat (22 Desember).
Untuk mengatasi pesatnya perkembangan dunia digital, pemerintah telah melakukan serangkaian inisiatif selama tiga tahun terakhir. Namun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dijadikan dasar pengaturan konten Internet justru menjadi sumber kontroversi.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor (5) Tahun 2020 mengatur izin platform digital untuk mendaftar ke Kementerian untuk memberikan akses publik. Meski diumumkan pada tahun 2020, kebijakan ini memicu kontroversi pada tahun 2022 karena kementerian memblokir beberapa layanan aplikasi.
“UU TIK telah mengalami beberapa kali revisi, salah satunya pada tahun 2016 memicu kontroversi pencemaran nama baik dan penghinaan. Di negara demokrasi maju, pernyataan palsu dianggap pencemaran nama baik, namun dalam UU TIK, hal ini tidak didefinisikan dengan jelas,” kata Engelbertus Windratama, seorang A peneliti yang berspesialisasi dalam regulasi dan pemantauan regulasi media.
Kalimat yang tidak jelas dan pembedaan antara tokoh masyarakat dan individu menambah kebingungan. Beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan keluhan dari pejabat pemerintah atas kritik, hinaan, dan pengaduan di media sosial, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah UU ITE menghambat demokrasi.
Selain dilema peraturan dan informasi, kondisi pascapandemi juga memberikan tantangan bagi industri film. Ijak Satria Wibawa, dosen Departemen Ilmu Komunikasi Airlangga, menjelaskan dinamika perubahan industri film pasca pandemi.
Dengan banyaknya orang yang harus berada di rumah karena lockdown, aktivitas seperti menonton film telah dipindahkan ke dalam ruangan; Namun, dimulainya masa normal baru pada tahun 2022 telah memunculkan kembali minat untuk pergi ke bioskop. Tayangan tahun lalu, “KKN di Desa Penari” berhasil mengumpulkan 10 juta penonton dan memecahkan rekor yang luar biasa.
“Apakah penonton masih mendambakan bioskop setelah pandemi? Yang mengejutkan, 64,1% menyatakan keinginannya untuk kembali ke bioskop. Namun, 75% melaporkan tingkat kenyamanan yang jauh lebih tinggi dengan streaming langsung. Meski lebih memilih streaming, mereka mengaku sering mengunjungi bioskop lagi. Ada kualitas tak berwujud di bioskop yang tidak dapat digantikan oleh streaming.
Pengalaman imersif dari layar besar, suara surround, dan suasana khas bioskop berkontribusi menciptakan daya tarik yang tak tergantikan. Selain itu, layanan tambahan seperti makanan ringan, paket khusus, dan tempat duduk mewah meningkatkan pengalaman menonton bioskop.
Awalnya hanya sebatas rilis bioskop, industri film kemudian merambah dunia digital melalui platform seperti Netflix, VIU, dan iQIYI. Platform-platform ini menyediakan platform pemaparan dan membangun pasar bagi film, yang sangat penting bagi kelangsungan industri film.
“Transformasi ini positif. Hal ini menempatkan platform digital setara dengan bioskop. Misalnya, banyak film yang sebelumnya eksklusif di Netflix menawarkan perubahan paradigma yang membuat kita berpikir tentang konsekuensi dari perkembangan ini.
Perdebatan mengenai dunia digital akan terus berlanjut ketika masyarakat bergulat dengan transformasi digital. Mencapai keseimbangan peraturan yang diterima masyarakat masih merupakan tugas berat bagi pemerintah. Pada saat yang sama, masyarakat harus menyadari bahwa transformasi digital tidak dapat dihindari dan memerlukan penerapan praktik internet cerdas secara kolektif.
Penulis: Tasya
“Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert.”