KabarTotabuan.com

Memperbarui berita utama dari sumber Indonesia dan global

Demokrasi yang menyusut di Indonesia: Mengapa perusahaan dan investor harus peduli?
Economy

Demokrasi yang menyusut di Indonesia: Mengapa perusahaan dan investor harus peduli?

Penurunan kualitas demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak masa jabatan kedua Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada tahun 2019. Namun, perkembangan terkini, seperti mundurnya Airlangga Hartarto dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar, menunjukkan adanya longsoran salju yang sangat besar. menyebabkan runtuhnya banyak pilar demokrasi Indonesia, dalam hal ini partai politik yang kuat dan dinamis.

Oleh karena itu, prospek pergantian partai sangatlah mengkhawatirkan, karena perubahan tersebut, serta kemungkinan terkikisnya lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia, akan semakin merusak rekam jejak politik partai yang sudah memburuk. Namun terlepas dari permasalahan yang dihadapi partai politik, partai politik tetap menjadi sarana utama bagi politisi untuk beroperasi dalam sistem.

Pada pemilu tahun 2024 dan bahkan pemilu gubernur Jakarta tahun 2017, ungkapan paling umum di kalangan dunia usaha adalah keinginan akan stabilitas dan perdamaian. Oleh karena itu, banyak komunitas bisnis yang akan berpihak pada pemenang. Tidak ada yang salah dengan hal itu, bisnis dan perdagangan memerlukan pemerintahan yang stabil dan berfungsi.

Pada Pilgub 2017, keadaan menjadi kacau balau. Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama adalah birokrat yang unggul dalam banyak standar. Namun, politik seputar kampanye terpilihnya kembali membuka kotak Pandora mengenai politik primitif.

Kepribadian Ahok yang berapi-api dan sikap agresifnya menimbulkan ketakutan di kalangan minoritas dan dunia usaha karena alasan-alasan tersebut di atas, selain trauma akibat kerusuhan ras tahun 1998. Pengusaha berorientasi minoritas seperti Jaya Soprana kerap menimbulkan ketakutan dan kecemasan di berbagai forum.

Generasi muda yang lebih optimis tidak menerima sentimen ini. Pada tahun 2017, saya menulis bahwa pemilihan gubernur merupakan ujian besar bagi multikulturalisme di Indonesia. Keyakinan implisit saya adalah bahwa masyarakat Indonesia yang toleran dan multikultural akan mengarah pada pemilihan berdasarkan kemampuan dan kinerja dibandingkan kepentingan primitif dan sempit. Ketika Ahok kalah dan kemudian dipenjara karena dugaan penistaan ​​agama, bukan berarti masyarakat Indonesia berpikiran sempit dan memilih berdasarkan perasaan primitif.

READ  Elon Musk tidak akan memproduksi mobil Tesla di India karena pemerintah melarang penjualan dan perawatan kendaraan listrik

Kenyataannya adalah politik itu rumit, dan politisi dapat memanipulasi dan merekayasa banyak isu untuk mencapai tujuan mereka. Masyarakat dan warga negara biasa sering kali dipengaruhi oleh tingkah dan permainan para politisi. Apalagi di era media sosial yang pesat dan intriknya.

Kekalahan Ahok, meski mendapat dukungan 70% dan dipenjara, lebih merupakan bukti kekejaman politik dan politisi dibandingkan kepicikan warga negara.

Indonesia tetap merupakan masyarakat pluralistik yang ditandai dengan komunitas dinamis yang berinteraksi lintas agama dan etnis dalam kehidupan sehari-hari.

Hal yang ingin kami sampaikan di sini mengenai erosi demokrasi di Indonesia dan ketakutan di kalangan dunia usaha, khususnya kelompok minoritas, adalah bahwa pandangan yang terlalu berhati-hati atau antusias tidak membantu dalam pengambilan keputusan seperti siapa yang harus dipilih, didukung, atau didanai. Secara keseluruhan, para pengamat cenderung setuju bahwa Indonesia adalah masyarakat yang secara fundamental stabil.

Melalui penelitian saya, saya menemukan bahwa insiden kekerasan hampir selalu diciptakan oleh penguasa untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan mereka yang lemah. Ketidakpuasan masyarakat akar rumput yang meluas akibat ketidaksetaraan dan penindasan rasial sangat berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat, misalnya.

Namun hal ini tidak berarti bahwa kesenjangan dan ketegangan antara kelompok ekonomi dan etnis tidak ada. Hal-hal tersebut nyata dan merupakan masalah yang harus ditangani dengan serius.

Pada pemilu 2024, kita mendengar para pemimpin dunia usaha, komunitas, dan agama minoritas menyerukan agar memilih Prabowo Subianto demi keselamatan. Adalah suatu kesalahan untuk mengupayakan tindakan pencegahan dengan cara apa pun.

Namun bukan berarti memilih Prabowo adalah sebuah kesalahan.

Jika program dan rencananya benar-benar konsisten dalam memajukan Indonesia ke arah yang positif, maka keputusan ini mungkin masuk akal. Hal penting yang harus kita sadari adalah bahwa dukungan politik dan keuangan kita tidak boleh didasarkan pada pandangan yang sederhana dan bersifat jangka pendek terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar kita.

READ  2021: Tinjauan ASEAN-UE | Pos Asia

Melihat kembali situasi politik saat ini, khususnya pemilu Jakarta, partai koalisi Indonesia Maju yang berkuasa tampaknya tidak memiliki lawan yang signifikan untuk menantang kandidat pilihan mereka, Ridwan Kamil.

Mengapa hal ini menjadi perhatian komunitas bisnis dan kelompok minoritas?

Suatu pemerintahan yang tidak menghadapi oposisi yang kuat, dan dapat melaksanakan keinginan dan kebijakannya tanpa batasan atau hambatan, tentu saja akan menjadi korup. Sebagaimana pepatah politik yang paling benar mengatakan: “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup.”

Tidak ada keraguan bahwa pemerintahan yang kuat dan dipimpin oleh sejumlah kecil elit mampu menciptakan lapangan kerja untuk kepentingan lingkaran terdekatnya. Beginilah cara manusia bekerja.

Apakah kita percaya bahwa memiliki pemerintahan yang stabil dan aman di bawah rezim otoriter adalah hal yang baik?

Pikirkan lagi. Perusahaan-perusahaan besarlah yang akan meraup keuntungan tanpa hambatan. Perusahaan tingkat rendah tidak dapat bersaing berdasarkan prestasi.

Kalau perusahaan besar, bolehkah kalau punya koneksi?

Semakin kuat pemerintahan yang berkuasa, semakin banyak pula masyarakat yang siap disingkirkan.

Ambil contoh Jack Ma, pendiri Alibaba. Suatu hari paus itu mungkin berada di pedesaan, dan keesokan harinya mungkin hilang.

Hal yang sama berlaku untuk industri hiburan. Oleh karena itu, persoalan melemahnya institusi demokrasi dan melemahnya supremasi hukum pada akhirnya merupakan persoalan yang akan sampai ke kita semua.

Bahkan jika Anda adalah seekor paus besar, jika kita tidak dapat mengandalkan aturan main yang benar (hukum), hidup kita akan bergantung pada keinginan dunia politik yang tidak menentu.

Salah satu langkah sederhana dan konkrit adalah dengan menyelenggarakan pemilu di Jakarta.

Ada rumor bahwa meskipun beberapa pemimpin Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia sangat antusias dengan pencalonan Ahok, di sisi lain ada keraguan karena apa yang disebut “Sembilan Naga” (kelompok bisnis terbesar di negara ini) tidak bersedia membiayai pencalonannya.

READ  Saham rebound dan imbal hasil Treasury naik karena data yang lebih kuat

Tidak ada uang, tidak ada persaingan.

Kita tidak perlu takut akan ketegangan dan konflik sosial di Indonesia pada tahun 2024. Sebaliknya, kita harus takut terhadap tirani.

Dunia usaha dan investor harus bersedia berinvestasi pada pemerintahan yang sehat untuk jangka panjang.

Pemerintahan yang baik akan mengurangi ketegangan sosial. Kebijakan yang baik dan adil akan menciptakan warga negara yang damai dan sejahtera. — Jaringan Berita Jakarta Post/USA

Tobias Basocki adalah Direktur Pelaksana Aristoteles Consulting.

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

"Pemikir jahat. Sarjana musik. Komunikator yang ramah hipster. Penggila bacon. Penggemar internet amatir. Introvert."