Dewan Redaksi (The Jakarta Post)
Jakarta
Senin 24 Januari 2022
Ada kekhawatiran yang berkembang di kalangan masyarakat bahwa proyek kereta api berkecepatan tinggi antara Jakarta dan Bandung akan menjerumuskan Indonesia ke dalam “jebakan utang”, meskipun tidak ada cukup indikasi untuk membangun ketakutan tersebut. Namun satu hal yang pasti, semakin lama proyeknya, semakin mahal pula kerjasama persahabatan yang kolosal dan semakin diragukan kemungkinan kereta impiannya.
Sesuai kesepakatan yang ditandatangani Indonesia dan China sebagai dasar mega proyek tersebut, negara tuan rumah akan menanggung beban yang jauh lebih berat dibandingkan dengan mitranya dalam mewujudkan pembangunan rel kereta api.
Konstruksi menghadapi kemunduran lain karena kendala geografis dan geologis. Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan pekan lalu bahwa kereta api tidak akan beroperasi sampai akhir Juni 2023, atau empat tahun lebih lambat dari jadwal semula.
Tahun lalu, presiden yakin mengusulkan untuk menyelesaikan proyek kereta api sebelum Indonesia menjadi tuan rumah KTT G20 pada Oktober tahun ini. Saat itu, dia mengatakan akan naik kereta api Jakarta-Bandung bersama Presiden Xi Jinping.
Proyek ini telah tertunda dua kali sejak pemerintah memberikannya kepada China pada September 2015, mengejutkan Jepang, yang menyelesaikan studi kelayakan yang komprehensif dan mengajukan skema pinjaman yang sangat murah hati untuk membangun kereta api sepanjang 142,3 km. Proyek tersebut dimulai pada 21 Januari 2016, praktis tanpa studi kelayakan yang komprehensif, yang kemudian membuat Indonesia harus membayar mahal.
Menurut rencana semula, proyek tersebut tidak akan membebani APBN, berkat skema pembiayaan usaha. Sangat kontras dengan usulan Jepang yang menuntut jaminan pemerintah. Tapi tahun lalu, pemerintah harus mengubah kata-kata kontrak, sehingga menanggung beban keuangan.
Indonesia dan China membentuk konsorsium Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) untuk melaksanakan pembangunan tersebut. Indonesia menguasai 60 persen saham, sedangkan sisanya dikuasai China.
Konsorsium Indonesia dipimpin oleh perusahaan konstruksi negara PT Wijaya Karya dengan 38 persen saham, dengan operator kereta api negara PT KAI dan perusahaan pertanian negara PT Perkebunan Nusantara VIII memegang 25 persen saham, sedangkan sisanya 12 persen dimiliki oleh operator jalan negara PT Jasa. . Marga.
Indonesia mungkin tidak pernah mengantisipasi skenario terburuk ketika menyetujui kontrak, yang menyatakan bahwa jika terjadi pembengkakan biaya, kerugian akan dibagi di antara pemegang saham sesuai dengan komposisi saham mereka. Dengan pembengkakan biaya sebesar 23 persen, total biaya proyek sekarang menjadi $8 miliar dari semula $6,07 miliar, dan kemungkinan besar akan meningkat setelah penundaan kedua, dengan biaya yang lebih besar di Indonesia.
Formula seperti itu, dan beban keuangan yang harus ditanggung Indonesia, tidak ada artinya dan tidak adil bagi banyak orang karena Indonesia adalah pihak yang memberikan kontrak.
Untuk mengatasi dilema ini, Presiden Jokowi harus menghubungi langsung Presiden Xi untuk membuka kemungkinan renegosiasi kontrak.
Proyek kereta api ini merupakan simbol persahabatan kedua negara. Ketulusan kedua belah pihak dalam mencari solusi yang adil, komprehensif dan saling menguntungkan sangat penting untuk menjaga proyek di jalur yang benar.
Tidak boleh ada penundaan lebih lanjut dalam pembangunan kereta api, yang seharusnya menjadi tonggak sejarah hubungan bilateral antara Indonesia dan China. Baik Presiden Jokowi maupun Presiden Xi bisa datang untuk menyelamatkan.
Di sisi lain, penundaan lebih lanjut akan menimbulkan keraguan publik tentang komitmen kedua negara terhadap hubungan bilateral yang erat dan berkelanjutan.